Selasa, 31 Oktober 2017

Perjuangan Pahlawan Masa Kerajaan Hindu, Buddha, dan Islam

ANNYEONG HASEYO:)

  Tahukah kamu apa yang dimaksud dengan pahlawan?
 

Tahukah kamu apa arti dari gambar diatas?
ya, mereka lagi menolong orang lain! Menolong orang lain dengan ikhlas, berani, dan gigih merupakan sikap yang dimiliki oleh para pahlawan. Untuk menghargai mereka, kamu bisa meneladani sikap kepahlawanannya  dalam kehidupan sehari-hari.

Sikap kepahlawanan juga tercermin dari perbuatan beberapa raja di masa kerajaan Hindu, Buddha, dan Islam.Berikut adalah beberapa tokoh dan peninggalan kerajaan pada masa kerajaan Hindu, Buddha, dan Islam. Peninggalan yang mereka wariskan bukan saja benda bersejarah, tetapi juga pemikiran dan nilai nilai perjuangan yang telah menginspirasi bangsa Indonesia


Balaputradewa Raja Kerajaan Sriwijaya 


  Balaputradewa menjadi raja ketika Sriwijaya sekitar tahun 850 M. Pada saat pemerintah Raja Balaputradewa, Kerajaan Sriwijaya mencapai puncak kejayaannya dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan kebudayaan. Balaputradewa berjuang membangun armada laut yang kuat. Tindakan itu bertujuan supaya jalur pelayaran di wilayah Sriwijaya menjadi aman. Banyak pedagang merasa aman ketika singgah. Peningkatan ekonomi diperoleh dari pembayaran upeti, pajak, maupun keuntungan dari hasil perdagangan. Dengan demikian, Sriwiwjaya berkembang menjadi kerajaan yang besar dan makmur.

Mahapatih Gajah Mada
Gajah Mada

Hayam Wuruk

Candi Penataran


    Gajah Mada adalah seorang panglima perang dan tokoh yang sangat berpengaruh pada zaman kerajaan Majapahit. saat remaja, ia merupakan seorang pemuda yang keahlian bela diri yang sangat hebat serta berilmu tinggi. Pada usia 19 tahun, Gajah Mada berhasil menyelamatkan rajanya, Prabu Jayanegara. Oleh karena kecakapannya, pada tahun 1319, ia diangkat sebagai patih kahuripan. Dua tahun kemudian, ia diangkat sebagai Patih Kediri. Pada tahun 1329, Patih Majapahit yang bernama Aryo Tadah menunjuk Gajah Mada untuk menggantikan dirinya. Gajah Mada menolak penunjukan itu karena ingin membuktikan pengabdiannya terlebih dahulu kepada Kerajaan Majapahit, yaitu menghentikan pemberontakan Keta dan Sadeng. Gajah Mada akhirnya diangkat sebagai Patih Majapahit pada tahun 1334, setelah berhasil mengalahkan Kate dan Sadeng. Pada tahun 1336, Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa, yaitu janji bahwa ia tidak akan memakan buah palapa, sejenis rempah-rempah, bila belum berhasil menguasai pulau-pulau di Nusantara. Perjuangan Gajah Mada mencapai puncaknya pada zaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (1350-1389). Pada masa itulah, Majapahit hampir sama luasnya dengan wilayah Indonesia yang sekarang, bahkan pengaruh kerajaan Majapahit sampai ke negara-negara tetangga.

 
    Kemegahan dan kebesaran kompleks candi Penataran membuktikan perjuangan dan peranan para tokoh pada masa kerajaan Majapahit. Candi Penataran dibangun pada masa Kerajaan Kediri dan dipergunakan pada masa Kerajaan Majapahit. Didalam kompleks candi, terdapat arca, bangunan yang disebut Bale Agung, Prasasti (batu tulis) dan beberapa candi. Candi-candi itu diantaranya candi Naga yang berukuran lebar 4,83 meter, panjang 6,57 meter, dan tinggi 4,70 meter. Selain itu, terdapat candi yang dianggap paling suci, yaitu candi Induk. Candi Induk terdiri atas tiga teras bersusun dengan tinggi seluruh 7,19 meter.

Sultan Hasanuddin

   Sultan Hasanuddin ialah raja dari kerajaan Islam Gowa-Tallo di Makassar, Sulawesi Selatan. Oleh Belanda ia dijuluki 'Ayam Jantan dari Timur' karena kegigihan dan keberaniannya melawan Belanda. ia membela kepentingan kerajaannya dan kepentingan rakyatnya dengan gigih. Ia berusaha menegakkan kedaulatan dan memperluas wilayah kerajaan. Ia berhadapan dengan Aru Palaka, Raja Bone yang dibantu oleh Belanda.
    Sultan Hasanuddin dikenal arif dan bijaksana. Beliau merasa sedih karena harus bertempur melawan keluarga sendiri. Arung Palakka La Tenri Tatta to Erung sudah seperti saudara kandung sendiri. Sultan Hasanuddin mempertimbangkan bahwa pertumpahan darah dikalangan orang Makassar dan Bugis harus dihentikan. Sultan Hasanuddin berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di sekitar kerajaannya untuk melawan Belanda. Karena perjuangan dan jasa-jasanya, nama Sultan Hasanuddin diabadikan sebagai nama jalan dan universitas di Makassar, Sulawesi Selatan. Pemerintah bahkan menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Hasanuddin. Setelah wafat, Sultan Hasanuddin dimakamkan di kompleks pemakaman raja-raja Gowa di Sulawesi Selatan. Kompleks pemakaman raja-raja merupakan peninggalan sejarah yang perlu dijaga kelestariannya. Kompleks pemakaman ini pun dijadikan objek pembelajaran sejarah bagi bangsa indonesia.

Prasasti Ciareteun


    Pada tahun 1893 prasasti ini pernah terhanyut beberapa meter oleh derasnya aliran sungai dan bgian batu yang bertulis terbalik posisinya ke bawah. Pada tahun 1903 prasasti ini dikembalikan ketempat semula.Prasasti Ciaruteun (Ciampea, Bogor) sebelumnya dikenal dengan sebutan prasasti Ciampea, ditemukan di Sungai Ciaruteun, dekat muaranya dengan Cisadane. Yang menarik perhatian dari prasasti ini adalah lukisan laba-laba dan tapak kaki yang dipahatkan disebelah atas hurufnya. Prasasti ini terdiri dari empat baris, ditulis dalam bentuk puisi India dengan irama anustubh.Berikut adalah terjemahan dari prasasti Ciaruteun; ini (bekas) dua kaki,yang seperti dewa wisnu,ialah kaki yang Mulia Sang Purnawarman,raja negeri Taruma,raja yang gagah berani di dunia. Berdasarkan isi prasasti ini kita dapat mengetahui bawah prasasti ini dibuat pada masa pemerintahan raja Purnawarman yang memerintah di kerajaan Trauma (Tarumanegara). Dan apabila kita memerhatikan irama, sepertinya memiliki kesamaan dengan prasasti yang ditemukan di Kutai, yang dikeluarkan oleh raja Mulawarman yaitu sama-sama menggunakan irama anustubh. Hal ini mungkin adanya kesamaan kebudayaan yang berkembang antara di Taruma dan Kutai. Selanjutnya kesamaan nama belakang mereka yaitu Warman semakin memperkuat dugaan tersebut.Melihat bentuknya, prasasti ini mengingatkan adanya hubungan dengan prasasti raja Mahendrawarman I dari keluarga Palla (India) yang didapatkan di Dalavanur. Apabila kita hubungkan antara irama penulisan (anustubh) dan bentuknya kita bisa sedikit menyimpulkan bahwa Kerajaan Taruma dan Kutai memiliki kesamaan kebudayaan dengan keluarga Palla di India.Apabila kita melihat isinya,  menunjukan bahwa Sang Purnawarman ingin menunjukan kepada rakyatnya bahwa ia seorang raja negeri Taruma yang gagah berani di dunia, yang ditandai dengan cap sepasang telapak kakinya yang bagai kaki Dewa Wisnu. Cap telapak kaki ini melambangkan kekuasaan Purnawarman atas daerah ditemukannya prasasti, yang menegaskan kedudukan diibaratkan Dewa Wisnu sebagai penguasa sekaligus pelindung rakyat.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar